Pernahkah Merasakan Hampir Mati?

Tepatnya 27 tahun yang lalu, di tahun 1990, sepertinya aku hampir mati! Ya, waktu itu aku baru berusia 15 tahun 2 bulan. Berawal dari sakit perut yang sering muncul, dan hanya dianggap sebagai penyakit mag. Suatu hari aku merasakan kesakitan luar biasa, hampir pingsan tapi nggak pingsan-pingsan. Untung saja aku segera dibawa ke Rumah Sakit Umum di daerah Fatmawati, dari rumah harus naik angkot dulu karena di rumah sedang nggak ada yang bisa mengantar naik mobil. Luar biasa sakitnya, aku berkeringat dingin dan belum tahu kalau rasanya itu mirip seorang wanita yang akan melahirkan. Saat berdiri di pinggir jalan, didampingi Mama dan kakak perempuanku, rasanya aku “semaput” alias serasa melihat kunang-kunang  memutari kepalaku. Tak tahan, aku sampai berjongkok. Bayangkan, naik angkot! Taxi sangat jarang lewat jalanan yang kami lalui saat itu.

Singkat cerita, ternyata aku mengalami infeksi usus buntu dan harus dioperasi. Seusai operasi, aku dan keluargaku diperlihatkan potongan organ kecil yang seukuran jari jempol tangan tapi nggak terlalu panjang. Terlihat bengkak dan luka, aku lupa-lupa ingat tapi kalau nggak salah sih waktu itu ada salah satu anggota keluargaku yang merasa mual saat melihatnya. Aku dirawat selama tiga hari di Rumah Sakit, ada bekas sayatan yang dijahit. Jahitannya hanya sekitar 3 atau 4, aku juga agak lupa. Yang jelas pendek, nggak sepanjang sayatan operasi caesar. Alhamdulillah, aku dioperasi usus buntu di usia yang cukup belia, jadi pemulihannya lumayan cepat, karena jaringan yang baru cepat berganti di bekas luka operasinya. Kadang aku mendengar cerita orang dewasa yang dioperasi usus buntu merasa kesakitan, seperti habis dioperasi caesar (tergantung jahitannya).

Yang sangat membuatku takut sekaligus bersyukur, dokter mengatakan bahwa jika aku telat dioperasi setelah kesakitan luar biasa itu, bisa terjadi kebocoran usus yang akan menyebabkan kematian. Subhanallah, menyeramkan juga ya … Alhamdulillah aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama oleh Allah Swt. setelah mengalami infeksi usus buntu (bahasa ilmiahnya kalau nggak salah Appendix Acute atau apa, gitu, lupa …) Usia 15 tahun ditambah 27 tahun, saat ini usiaku jalan 42 tahun. Hikkss … seperti mimpi! Setelah aku dioperasi usus buntu, memang sempat kurasakan efek yang lumayan menyedihkan. Aku sempat mengalami sembelit atau susah BAB selama 5 hari, kemudian aku bisa BAB setiap 3 hari sekali, sampai akhirnya bisa normal menjadi setiap hari (dalam jangka waktu yang lama). Akibatnya, aku pernah mengalami jerawatan parah di wajahku! Sedih, karena saat itu aku duduk di kelas 1 SMA (beberapa bulan setelah operasi saat kelas 3 SMP). Mungkin karena “darah kotor” akibat sembelit (kotoran lama terbuangnya).

Itu pengalaman pertamaku, di mana aku dinyatakan “hampir mati” karena usus buntu yang sudah sangat parah. Jika kuingat lagi kebiasaanku sejak kecil sampai remaja, memang aku kurang banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, juga kurang meminum air putih. Kelihatannya itu yang menyebabkan terjadinya infeksi usus buntu di tubuhku, karena jarang “tersapu” oleh serat dan air putih, karena aku bukan penyantap makanan yang pedas. Berarti, bukan akibat biji cabai yang menyangkut di lekukan usus buntu yang menyebabkan infeksi akut (seperti yang sering diucapkan orang). Banyak yang belum menyadari bahwa kurangnya meminum air putih juga sangat pengaruh terhadap kesehatan di sekujur tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki (termasuk bagian usus buntu). Jadi, sebaiknya kita memang harus meningkatkan lagi kesadaran meminum air putih yang banyak, agar tubuh sehat.

Kembali lagi ke masalah “hampir mati”, seingatku pernah mengalaminya kembali saat aku kuliah di semester awal (baru menjadi mahasiswi). Waktu itu menjelang Magrib, aku menyeberangi rel kereta di kampus UI yang dilalui oleh KRL dua arah! Ceritanya aku sedang ingin cepat-cepat pulang, nggak menunggu waktu Magrib dulu untuk salat di kampus. Saat melangkah, melewati rel kereta itu, aku sudah menoleh kiri-kanan dulu. Aneh sekali! Begitu aku menapakkan kakiku di pinggir rel kereta, tiba-tiba kurasakan KRL melintas dengan sangat kencang dan kulihat banyak orang yang kaget melihatku. Bahkan ada yang menjerit, dan memanggil-manggilku. Entahlah, apakah aku ditutupi pandangan dan ditutup telingaku saat melewati rel kereta yang cukup ditakuti banyak orang, karena sudah pernah ada korban yang tertabrak KRL di situ. Fffiuuuhhh! Aku jadi kembali tegang membayangkannya, karena begitu KRL melintas di belakang punggungku, serasa lemas sekali dengkulku … jantung berdegup kencang. Ditambah lagi dimarahi beberapa orang yang dekat dengan tempatku berpijak. Tentu saja aku dianggap ceroboh, hampir mati!

Kenangan lainnya tentang hampir tercabutnya nyawaku, sepertinya belum ada yang sangat berkesan seperti dua kejadian yang kuceritakan di atas. Mungkin ketika aku melahirkan ketiga anakku, bisa dibilang juga sebagai “antara hidup dan mati”. Ya, aku masih ingat rasanya ketika melahirkan (satu kali normal dan dua kali operasi caesar), namun dari semuanya itu, yang paling kuingat adalah ketika aku dioperasi usus buntu dan melewati rel kereta yang keramat itu. Bagaimana kalau aku telat dioperasi? Pasti ususku keburu bocor, dan nyawaku melayang. Bagaimana juga kalau aku lebih lambat melangkah di rel kereta itu? Pasti aku sudah tertabrak KRL. Hikmahnya adalah, jangan memaksakan diri berjalan di alam terbuka saat menjelang Magrib. Orangtua zaman dulu banyak yang mengingatkan, “pamali” (kata orang Sunda) kalau Magrib-Magrib jalan di luar. Lebih baik luangkan waktu untuk salat dulu, baru setelah itu jalan lagi. Aku benar-benar heran … karena dulu itu nggak mendengar suara klakson KRL sama sekali dan nggak melihat wujudnya KRL ketika aku menoleh ke kiri dan kanan, sebelum menyeberangi rel kereta. Benar-benar … “Hampir mati, aku!”

Mengingat kejadian itu, bersyukur sekali karena sampai hari ini aku masih dapat leluasa bernapas. Namun, seringkali teringat akan kematian yang seharusnya terjadi sebagai takdirku. Kapankah itu? Di manakah? Ya Allah … antara cemas dan berharap, agar dapat diberi lagi umur yang panjang dan kesehatan yang baik, sampai ajal menjemput. Semoga aku dan semua sahabat serta kerabat akan mendapatkan Husnul Khatimah, saat kematian tiba. Berilah anugerah sebaik-baiknya keadaan kami saat mati, Ya Allah. Aamiin YRA.

Catatan ini kubuat, untuk mengenang tanggal 20 Februari 1990, saat operasi usus buntu.

Depok, 21 Februari 2017.

4 thoughts on “Pernahkah Merasakan Hampir Mati?

  1. ranirtyas says:

    Terkadang masih juga melalaikan air putih, hiks.. padahal penting banget ya mbak. Alhamdulillah semoga umurnya barokah ya mbak dan semoga kita semua meninggal dalam kebaikan. Salam kenal mbak.

    Liked by 1 person

    • Iya, aku juga kadang masih kurang banyak minum air putih … dan agak kesulitan menyuruh anak-anakku minum air putih yang cukup. Aamiin YRA doanya, salam kenal juga mbak Rani. Terima kasih sudah komen. ^_^

      Like

Leave a reply to ratuneo Cancel reply